Rabu, 26 September 2018

Menyadur Pun Perlu Adab, Sebuah Opini








Menurut KBBI V, salah satu arti kata 'menyadur' adalah 'menyusun kembali cerita secara bebas tanpa merusak garis besar cerita'. Lalu, apa bedanya dengan plagiarisme? Masih menurut KBBI V, 'plagiarisme' adalah 'penjiplakan yang melanggar hak cipta'.


Menurut saya (CMIIW), plagiarisme bisa pula diartikan secara bebas sebagai 'mencuri karya orang lain untuk diakui sebagai karya sendiri'. Sedangkan menyadur, itu bukan mencuri, KALAU dari awal sudah di-'woro-woro'-kan bahwa sebuah tulisan adalah hasil 'menyadur dari...', 'terispirasi dari...', dan sejenisnya. DARI AWAL lho, ya. BUKAN baru mengaku kalau ada yang nanya. Itulah ADAB MENYADUR, yaitu MENGAKUI DARI AWAL.

Saya punya pengalaman soal sadur-menyadur ini. Laman Kompas Anak (entah apakah sekarang masih ada, sudah nggak langganan Kompas cetak lagi) dulu mensyaratkan cerita yang dikirim ke redaksi haruslah hasil karya sendiri, bukan menyadur, terjemahan, dan sejenisnya. Suatu kali, Kompas Anak memuat sebuah cerita dongeng berlatar belakang negeri Tiongkok. Penulisnya laki-laki. Padahal baru beberapa minggu sebelumnya saya baca di majalah Bobo kisah yang serupa. Sampai saya bongkar koleksi Bobo si boy untuk menemukan cerita itu. Ketemu, saya bandingkan, bisa dibilang plêg sama. BEDANYA, yang di Bobo menyertakan keterangan 'saduran dari dongeng Tiongkok', dan penulisnya perempuan. Yang di Kompas Anak, SAMA SEKALI NGGAK ADA KETERANGAN. Di Bobo sendiri, mengirimkan cerita terjemahan atau saduran bukanlah barang haram.

Ketemulah 'dosa' penulis di Kompas Anak itu. Pertama, itu jelas-jelas cerita saduran (yang sebetulnya nggak boleh lolos menurut syarat dari medianya). Kedua, penulis tidak menyertakan keterangan bahwa cerita itu 'cuma' saduran, alias bukan hasil karya sendiri.

Saya nulislah email ke redaksi Kompas Anak. Protes dengan menyertakan bukti. Direspon, redaksi menyesalkan hal itu (lolosnya cerita saduran). Ada hak protes, ada hak jawab. Munyuknya, dalam hak jawab itu si penulis SAMA SEKALI TIDAK MENGAKUI BAHWA ITU CERITA SADURAN. Padahal bukti sudah ada. Sejak saat itu, penulis yang memang namanya beberapa kali pernah nongol di Kompas Anak, nggak pernah lagi kelihatan nongol. Barangkali sudah di-blacklist sama redaksi Kompas Anak. Sepertinya itu kesalahannya yang ketiga.

Lalu, saya ngeciwis soal sadur-menyadur gini ini, artinya saya nggak pernah menyadur, gitu? Ya pernahlah! DENGAN BERADAB, TENTU SAJA. Pakai tata krama. Ada kok di blog. Cerpen, kalau nggak salah yang cerita soal husky. Terinspirasi dari salah satu kisah dalam buku Chicken Soup for the Soul. Saya sebutkan soal 'terinspirasi' ini dari awal. Di Bobo juga pernah, menyadur dongeng India Kuno. Dimuat, dapat honor. Lagipula cerita saduran atau terjemahan bukan barang haram di majalah Bobo (nggak kayak di Kompas Anak). Asaaal..., ya itu tadi. Ngaku o talah, ngaku o.... Ngaku di awal. Kasih keterangan/penjelasan di awal, saat menggulirkan suatu cerita hasil menyadur. Cekno nggak isin kalau ada yang mergokin kalau hasil tulisan kita itu ternyata 'cuma' saduran. Begitu pula kalau cerita yang kita tulis itu hasil 'terinspirasi dari'.

Lalu apa bedanya 'saduran' dan 'terinspirasi dari'? Kalau menurut saya lho ya, hasil menyadur itu lebih mirip cerita aslinya, walaupun gaya bahasanya sudah diubah sedemikian rupa. Faktor 'pengenalan dari orang lain setelah membaca'-nya itu lebih besar daripada cerita yang 'terinspirasi dari'. Walaupun begitu, cerita yang 'terinspirasi dari' itu nggak lantas turun derajat jadi nggak perlu di-'adab'-i lagi. Tata kramanya tetap sama. Apa susahnya sih, mengakui bahwa kita menyadur atau terinspirasi dari karya lain? Nggak lantas bikin nama kita jatuh kok, ASAL.... sekali lagi, JUJURLAH, NGAKU O. Mengakulah di awal. Bukannya baru mengaku setelah kepergok. Kalau yang ini derajatnya cuma sedikit lebih baik daripada plagiarisme (alias sudah niat nyolong, eh... nggak gelem ngaku pisan!). Parah kalau hal yang terakhir itu mah...

Kenapa saya sampai hati menuliskan ini? Karena masih banyak rekan penulis (baik yang levelnya sudah beneran maupun masih abal-abal abadi kayak saya) yang rupanya memandang sebelah mata soal tata krama ini. Entah apa pertimbangannya. Penulis top pun rasa-rasanya pernah salah. Tapi kalau salahnya sudah menyangkut adab, apa nggak malu kalau sampai ketemon? Ketemon melanggar tata krama tak tertulis yang kelihatannya sepele tapi sangat penting. Kalau saya, yo uisiiinnn reeek...! Apalagi cuma level keset, gedibal abal-abal kayak gini. Padahal menyadur atau mengambil inspirasi dari tulisan lain itu halal kok. Sah-sah saja. DENGAN SYARAT PAKAI TATA KRAMA, tentu saja.

Dah, gitu aja.

* * *

Catatan :
1. Ilustrasi dari pixabay.com, dengan modifikasi.
2. Artikel ini cuma pandangan pribadi. Sebagian berasal dari 'acara' berbalas komen dengan Mbak Albertha Tirta di facebook. Tidak setuju? Silakan. Asal jangan ngerusuh di lapak orang lain.
3. Terima kasih.

Tidak ada komentar: