Buat Apa Minta Maaf?

Beberapa waktu lalu saya 'ditegur' keras sama salah seorang sahabat saya. Dia bilang saya ini sudah terlalu sabar jadi orang. Dia gregetan sendiri  liat saya 'woles' walopun di luaran sana kayaknya nama baik saya sudah jatuh karena dianggap ngawur menuduh oknum dengan 'yang enggak-enggak'.

Jujur, saya nggak terlalu peduli karena saya yakin ada kebenaran yang derajatnya jauh lebih tinggi daripada yang saya pertahankan itu. Kebenaran yang sebenar-benarnya. Kebenaran yang hanya oknum, saya, dan Yang Di Atas yang tahu sejarahnya. Adapun saya 'berani' menuduh orang lain soal 'yang enggak-enggak' itu, karena saya punya bukti dan kronologinya. Sesuatu yang nggak akan saya beber semarah apa pun saya, karena saya masih nggak tega lebih merusak lagi nama baik oknum yang mungkin justru sudah dirusak oleh dirinya sendiri.

Saya orang baik? Sama sekali bukan! Saya cuma mau berusaha meyakini bahwa 'kalau nggak mau dicubit, ya jangan nyubit orang lain'. Kalau saya yang dicubit? Ya saya maafkan. Apalagi kalo urusan sama oknum yang ada tanda positif baperan. Disenggol sedikit bisa remuk. Tapi kalo dicubit berkali-kali, memaafkan berkali-kali, ya malaikat-lah kalo saya nggak jadi marah. Apalagi cubitan yang terakhir bukan hanya cubitan biasa, tapi sudah merogoh 'rempelo' saya. Tapi sesungguhnya saya salah besar mengumbar emosi seperti itu. Karena apa? Yang saya hadapi bukan suatu hal yang berguna. Eh, berguna juga ding! Setidaknya saya bisa belajar bahwa saya harus berhati-hati memilih teman.

Sahabat saya yang geregetan itu menyesalkan 'kepolosan' saya dalam berteman. Jujur, saya selalu berusaha untuk berpikir positif dalam berteman. Berteman ya berteman saja, bukan mempertanyakan 'untuk apa?'. Sebetulnya sudah banyak pertandanya tapi saya tetap mencoba untuk berpikir positif. Bahkan orang lain pun bisa membaca pertanda itu, tapi saya mencoba untuk mengabaikannya. Kenapa? Karena saya masih berpikir 'mosok sih, teman bisa melakukan itu?'. Tapi ternyata... Jelas siapa yang bodoh di sini. Cuma satu. Saya thok. Nggak perlu wedhus ireng.

Ada maaf yang terucap. Tapi pikiran 'setan' di kepala saya tidak lagi mempercayai ucapan itu. Lha gimana mau percaya wong track record teori yang dibikinnya sendiri sama prakteknya sering nggak sinkron kok... Lantas saya tidak memberinya maaf? Salah. Saya memberinya. Bahkan jauh sebelum oknum memintanya. Saya malaikat? Sama sekali bukan. Saya cuma sekutu setan yang lebih memilih untuk jadi egois dengan berdamai dengan kondisi dan diri sendiri dengan berbuat memaafkan. Setelah itu oknum mau ngapain? Emang gue pikirin! Dan ternyata ketidakpercayaan saya itu benar.

Jadi, buat apa panjang x lebar x tinggi minta maaf kalo ternyata sampai detik ini pun kesalahan pokoknya tak disadari? Hanya buat syarat ketenangan hati? Hahaha... *ngakak ngglundhung* I'm so sorry to say : forgive, but not forget. Dan ternyata meminta maaf dan benar-benar menyadari kesalahan itu adalah hal yang berbeda.

Ada orang yang bisa dijadikan teman, ada juga yang tidak. Mungkin saya termasuk golongan 'tidak'.  Jadi... Terima kasih banyak pada semua teman dan sahabat yang sudah mendukung dan mempercayai saya. Kalian semua sudah tahu berapa 'panu dan kadas' saya miliki. Kalian sangat hebat karena sudah mampu bertahan sekian, berbelas, bahkan berpuluh tahun berteman dan bersahabat dengan saya yang cuma begini.

Soal kelakuan asli, watak dasar, dan kepribadian, tak perlu berkoar dengan segala cara bahkan sampai bikin drama untuk membuktikan segala macam 'kebaikan diri' dan posisi sebagai korban. Hanya perlu waktu untuk merekam kebenaran. Itu yang saya yakini.

Anda punya keyakinan lain? Silakan... Mohon maaf, saya tidak akan menanggapi yang mencoba mengail di air keruh.

Dah, gitu aja.

Selamat siang...

(An answer for one of my very best friends : Dulkenyut)