Rabu, 21 Oktober 2015

Jatuh-Bangun Pengerjaan Cerbung RUANG KETIGA







Sebetulnya judulnya agak lebay sih... Cuma sekadar menggambarkan bahwa cerbung RUANG KETIGA yang baru tayang pada episode awal, pada mulanya saya pikir penggarapannya agak mudah karena ‘hanya’ berupa side story, ternyata memasuki episode pertengahan membuat saya cukup kalang-kabut mencari referensi yang jauh lebih njlimet daripada cerita ‘utama’ yang sudah pernah tayang. Pelajaran yang saya dapat : JANGAN PERNAH MENYEPELEKAN HAL YANG KELIHATANNYA SEDERHANA.

Entah apa yang ada di pikiran saya, kok sampai berani-beraninya memasukkan unsur budaya Jawa (Tengah) yang saya awam banget karena saya berasal dari Jawa Timur (sama-sama Jawanya tapi sudah lain cerita). Suami saya memang berasal dari Jawa Tengah, tapi untuk urusan adat dan budaya yang (dirasanya) agak rumit, dia angkat tangan. Yang jelas, karena cerita ‘utama’-nya dulu ‘sudah seperti itu’ setting-nya, maka cerita yang baru pun harus mengikuti juga. Dan buat saya pribadi, kayaknya asyik juga menerima tantangan untuk belajar lagi, serta menggali informasi dan mengumpulkan referensi yang perlu untuk penulisan cerbung ini. Pakem buat saya tetap satu : IDE BOLEH GILA, TULISAN BOLEH FIKSI ABISSS, TAPI REFERENSI JANGAN SAMPAI NGAWUR DAN MALAS MENCARI!

Pada perjalanan selanjutnya, saya juga cukup dibikin puyeng oleh catatan kaki. Penambahan catatan kaki saya lakukan secara manual per episode (tiap tayang per episode, catatan kakinya berawal dari nomor 1 lagi). Kalau cuma 1, 2, atau 3 catatan sih keciiil... Tapi kalau sudah mencapai belasan, puyengnya dijamin kuadrat. Apalagi setelah cerita per episode itu dibaca ulang, maksud hati ingin merevisi, harus ditambah-kurang sana-sini sebelum tayang, harus ada istilah ‘asing’, maka catatan kaki otomatis harus dibongkar lagi, harus menyisipkan lagi nomor baru yang mutlak harus cocok dengan nomor di badan cerita.

Tapi sungguh, pengetahuan saya jadi bertambah dengan menulis cerbung ini. Jadi kenal berbagai jenis jamu tradisional sekaligus bahan dan khasiatnya, bahkan nama latin beberapa bahan jamu itu. Jadi sedikit tahu prosesi lengkap pernikahan adat Jawa (Tengah), beserta filosofinya, juga bagian-bagian yang bisa di-skip demi kepraktisan tanpa mengurangi makna keseluruhan dari upacara itu. Jadi tahu perbedaan paes (riasan) pengantin gaya Solo dan Jogja. Dan masih banyak lagi.

Puas? Cukup. Mungkin ada banyak hal yang dirasa meleset oleh pembaca yang betul-betul paham budaya Jawa. Mohon maaf yang sebesar-besarnya. Sekaligus mohon bantuan informasi agar detil yang terserak dalam cerbung RUANG KETIGA betul-betul akurat.

Tak lupa saya mengucapkan TERIMA KASIH YANG SEBESAR-BESARNYA KEPADA BUNDA ENGGAR atas teguran dan arahan pada pemakaian bahasa di episode pertama. Juga atas informasi yang sangat berguna untuk memperkuat setting. Soal pemakaian bahasa yang ‘salah’ itu saya terpaksa ngeles, karena dari teguran itu saya justru menemukan bahwa ‘ada kasus’ yang makin menyatakan bahwa ada ‘situasi yang berbeda dan luar biasa’ dalam cerita ini *halah ruwet!* Semoga kengototan saya ngeles nggak membuat saya diacungi ulegan, dilempar bakiak, dan dipancung oleh Bunda Enggar.

Di luar itu, masih banyak lagi detil kebudayaan daerah yang bisa digali. Mungkin nanti dalam cerita yang lain. Yang jelas, dalam menulis, walaupun hanya berupa fiksi sekalipun, TAK BOLEH ADA KATA MALAS. Malas cari referensi yang melimpah di internet, malas membuka blog-blog lain yang mungkin menyajikan detil informasi yang bisa dijadikan referensi, malas memahami apapun yang bisa dijadikan bahan referensi, malas membaca ulang cerita utama (bila yang ditulis adalah side story), malas untuk mengolah semua ‘hasil perburuan’ yang sudah tergenggam di tangan dan ada di depan mata, malas membayangkan, malas berimajinasi, malas untuk teliti, malas untuk bertanya pada ahli yang berkompeten (kalau ada) terhadap suatu profesi/situasi sebelum mulai menulis. Kalau yang nulis saja belum-belum sudah malas, mau disuruh gimana yang baca hasilnya coba? Malas mikir dan mengandalkan orang lain yang disuruh mikir, apa ya cuma bondho gituan thok terus bisa hidup sentosa selamanya, gitu? *iki ngomong opo seh? ngelantur!*

Anyway, suatu cerita pasti mengandung ketidakpuasan dari tiap sisi pembaca. Ada yang mendukung begini, eh... ternyata jadinya begono. Ingin ending seperti itu, ternyata jadinya seperti ini. Dan masih banyak lagi. Walaupun demikian, seorang penulis (yang amatiran sekalipun kayak saya) pasti ingin menyajikan yang terbaik buat pembaca (walaupun gratisan via blog pribadi) tanpa kehilangan fokus pada alur cerita yang diinginkannya dari awal.

Akhir kata, selamat menikmati cerbung RUANG KETIGA dengan segala kekurangannya. Semoga terhibur. Semoga nggak kapok datang ke Fiksi Lizz.

Oh ya, satu lagi! Melalui tulisan ini, SAYA INGIN BERTERIMA KASIH KEPADA SEMUA PEMBACA YANG SUDAH BERKENAN BERKUNJUNG KE FIKSI LIZZ. Setelah penayangan cerbung CUBICLE kemarin saya sempat menyatakan LIBUR SEMINGGU tanpa ada tayangan baru. Ternyata hal itu BERPENGARUH BESAAARRR pada penambahan hit klik di Fiksi Lizz. Kalau saya rajin menayangkan fiksi baik cerbung, cerpen lepas, maupun cerpen stripping, pengunjung Fiksi Lizz MINIMAL menghasilkan 800 KLIK PER HARI (bahkan pernah melambung ke angka 1400an), maka ketika saya libur tayang (meskipun di belakang layar tetap menulis) hit klik di Fiksi Lizz hanya sekitar 300-400 saja per hari. Terjun bebas, hehehe... Sekali lagi, TERIMA KASIH, dan semoga apa yang tersaji di Fiksi Lizz nggak mengecewakan Pembaca.

Selamat siang...

15 komentar:

  1. pokoke..salut buat mbak Lis.......semangat terusss mbak....

    BalasHapus
  2. ikut mbak Sri ah , ayo semangat he he

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... Semangat kok, Pak, pake banget. Stok tayangan yang sudah terjadwal sudah sampai episode #8. Makasih, Pak...

      Hapus
  3. Wis pokoke apapun bentuknya kalau sing nulis njenengan bakalan tak enteni saben senen kemis... Seminggu prei terasa ada yang hilang di hidupku...#lebay akut

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo terlalu ditunggu takutnya mengecewakan, Mbak...
      Makasih mampirnya ya...

      Hapus
  4. Hwadduuuuhhhh .....

    Sing ngumbulke kok lee tenanan. Mari kui nyungsep .

    Bund hanya ferotes sing dirasa ora sreg kok. Sekedar meluruskan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... *ngintip dulu*
      Iya, Bun, episode pengeyelannya ada di #2 hihihi...
      Mmmuuuaaahhh...

      Hapus
    2. Bunda Enggar sabar kok mbak...tenang ae..paling mung dibalang mendhol..eh

      Hapus
    3. Wakakak... wareeeggg...
      Nuwus mampire, Mbak...

      Hapus
  5. sepakat, Mbak. Ide boleh gila tapi referensi harus valid :)

    BalasHapus
  6. Setelah berkecimpung di dunia fiksi saya baru sadar klo ngarang fiksi nggak mudah. Perlu banyak referensi. Empat jempol utk mbak Lis yang selalu total berkarya.

    BalasHapus