Entah sudah berapa puluh kali ada orang
menanyakan pertanyaan itu ke saya. Perihal karya-karya fiksi yang sudah saya
hasilkan. Jujur, saya bosan menjawabnya. Banyak alasan saya kenapa saya
sekarang enggan melakukannya.
1. Sudah melalui masa-masa itu
Bertahun-tahun yang lalu, saya sudah sampai
pada tahap berpikir, menulis, mengedit, mencetak, mengirimkan karya fiksi saya
ke majalah (remaja dan anak-anak), menunggu kritik, saran, keputusan untuk
dimuat ataukah ditolak, menunggu pemuatan kalau memang dimuat, menunggu bukti
pemuatan naskah, dan menunggu datangnya wesel honor. Sehari-dua hari? TIDAK!
Itu makan waktu berbulan-bulan. Sampai jamuran dan lumutan nunggunya. Belum
lagi kalau karya itu dikembalikan TANPA kritik dan saran. Karya yang saya
anggap bagus ternyata belum layak muat TANPA saya tahu harus saya perbaiki di
bagian mananya. Dan sekarang saya cuma mau bersantai saja dalam menekuni hobi menulis.
2. Kemampuan saya sudah mentok
Bertahun-tahun berhenti menulis. Kemudian
memulai lagi. Kemudian menemukan lagi hobi dan dunia yang pernah saya
tinggalkan, itu membuat saya sulit untuk berkembang lagi. Kenyataannya di luar
sana ada ribuan penulis yang jauh lebih update
dan memiliki kemampuan lebih daripada saya. Dan buat saya, menulis itu sekarang
hanya sekadar hobi. Sebagai salah satu jalan untuk mencegah pikun dini. Buat
seorang IRT macam saya, otak harus tetap dipaksa untuk bekerja agar pikiran
tidak mandheg tanpa guna. Bagaimana caranya memaksa otak untuk bekerja? Ya
menulis, terutama fiksi. Kalau ada yang
bilang menulis fiksi itu tidak terlalu menggunakan otak, sorry to say, tapi saya yakin yang punya pendapat seperti itu otaknya
ditaruh di dengkul. Atau bahkan sudah berkarat atau diloakkan karena jarang
terpakai.
3. Uang bukan segalanya
Silakan mencibir membaca statement di atas. Saya sendiri bukan dari kalangan yang berlebihan
uang. Tentu saja saya butuh uang untuk kehidupan saya sehari-hari. Kalau boleh
saya bandingkan dulu dengan sekarang, penghargaan (berupa honor dalam bentuk
nilai mata uang) seolah jalan di tempat, sementara nilai mata uang sudah lari sprint dengan kecepatan tak terhingga.
Ketika jaman kuliah dulu saya bisa membayar uang SPP 1 semester dari hasil 1
kali menulis/pemuatan, bahkan sisanya masih bisa dipakai buat mentraktir 5-10
orang teman dengan paket KFC yang isi 2 ayam, 1 nasi, 1 soft drink, sekarang?
Maaf kalau saya tertawa untuk itu. Jadi, daripada sudah menunggu sampai
lumutan, hasilnya nggak sesuai harapan, mendingan digratiskan saja sekalian
melalui blog. Sukur-sukur ada yang baca. Kalau nggak ada ya sudah, nasib. Memang
harus menyadari bahwa karya saya memang nggak berkualitas. Kalaupun suatu saat
ada yang saya kirim juga ke majalah, ya itu cuma iseng-iseng berhadiah saja.
Alias tanpa harapan walaupun tetap berusaha membuat karya fiksi dengan
maksimal.
Setiap orang menulis dengan motivasinya sendiri-sendiri.
Ada yang memang cuma hobi (kayak saya), ada yang mencari uang, ada yang hanya sekadar
mencari ketenaran dengan mengorbankan hal-hal yang sebenarnya, ada yang sekadar
kamuflase menulis yang baik-baik hanya untuk menutupi kebusukan diri dan kehidupannya,
ada yang untuk memenuhi ambisi, ada yang untuk sekedar meringankan beban hati,
dan masih banyak lagi. Apapun motivasi itu, alangkah baiknya kalau tulisan itu
kemudian bisa dijadikan cermin dan bisa diambil pelajaran dari dalamnya.
Perkara akan dikirim ke media cetak atau tidak, semua terpulang pada diri
penulis masing-masing. Begitu pula dosanya, silakan ditanggung penulisnya sendiri.
Merasa sayang hanya karena melihat tulisan gratisan/digratiskan?
Sekali lagi, tidak semua kepuasan bisa dinilai dengan uang.
* * * * *
Kenapa harus masuk dan dimuat dimajalah, mendingan cetak sendiri jadi buku, dan saya siap menjadi kolektor buku kumpulan ceritanya mbak, he he
BalasHapusHehehe... mendingan digratisin ajalah di blog, Pak Subur...
HapusMakasih kunjunganny...
Ikutan sharing :
BalasHapus1. Poin 1, yup! Beberapa kali tulisan saya tentang komputer dimuat di tabloid, dan waktu tunggunya lumayan lama padahal kalo sudah bicara teknologi kan harus update. Itu yang bikin saya nggak ngerti...
2. Poin 2, hahaha, ada tuh di "sono" yang ngomong kalo fiksi itu nggak penting. Mungkin dia lupa bahwa syair lagu dan film adalah karya fiksi.
3. Poin 3, sehubungan dengan poin 1. Honor yang saya terima memang sekadar pengganti ongkos, kepuasan dan kebanggan bisa nembus media cetaklah yang utama.
Intinya sih kalo aku sekarang, cuma sekadar menikmati hobi aja dengan santai...
HapusMakasih mampirnya, Mas Ryan...
~tepuk tangan buat mba Lis~
BalasHapusPeyuk buat Nita, hehehe...
Hapusbig hug for my beloved mbak Lis... #bigsmilealso
BalasHapusBig hug and smile for you, too...
HapusWew, tante rajin bener, punya 3 blog? kalo saya sih nggak bakal keurus hihihihii.. :D
BalasHapusHalaaah... wong cuma berusaha memecah jenis tulisan...
HapusMakasih mampirnya, Mbak Putri...
hehehehehe...
BalasHapusjadi berkaca pada diri sendiri nih... :D
oke...
tengkyu.
Nuwus mampire yo, Jeng...
HapusMbak, kl nraktir lagi, ajak2 saya ya... tp gak mau kfc, mau lontong balap, 3 porsi ��������
BalasHapusItu minta ditraktir apa nodong nih, Mbak Usi? Hahaha...
HapusMakasih mampirnya ya...